Senin, 14 Desember 2009

Social Motives



Social motives adalah kebutuhan dan keinginan bahwa belajar melalui pengalaman dengan dunia sosial. Setiap hari ketika sekolah, murid membangun dan menjaga hubungan sosial. Kebutuhan untuk afiliasi dan berhubungan (need for affiliation or relatedness), adalah motif untuk secara aman berhubungan dengan orang lain. Hal ini termasuk membangun, menjaga, dan menyimpan kehangatan, kedekatan, hubungan pribadi (Santrock, 2008)

Motif sosial ini hampir sama dengan pandangan sosial, yaitu adanya hubungan sosial di antara manusia, karena manusia adalah makhluk sosial. Ketika sekolah dulu, saya menjadi lebih bersemangat dan berkeinginan untuk pergi ke sekolah ketika saya ingat bahwa di sekolah itu menyenangkan, karena ada teman-teman baik saya dan ada pelajaran yang gurunya menyenangkan. Oleh karenanya, guru dan orang tua dapat membantu anak untuk menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya; dan guru harus dapat membuat anak nyaman, sehingga anak lebih bersemangant dan menyukai sekolah.

Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Prosedur Pembentukan Tingkah Laku

Dalam operant conditioning, terdapat prosedur pembentukan tingkah laku sebagai berikut (Suryabrata, 2006):
  1. Dilakukan identifikasi mengenai hal apa yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang akan dibentuk itu.
  2. Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Komponen-komponen itu lalu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.
  3. Dengan mempergunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
  4. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang telah tersusun itu. Kalau komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan; hal ini akan mengakibatkan komponen itu makin cenderung untuk sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk, dilakukannya komponen kedua yang diberi hadiah (komponen pertama tidak lagi memerlukan hadiah); demikian berulang-ulang, sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya, sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan terbentuk.

Seorang anak sangat menyukai gambar kartun Mickey Mouse, karenanya orang tua akan menjadikan barang-barang yang ada gambar kartun Mickey Mouse sebagai reinforcer. Komponen-komponen yang akan dibuat orang tua, yaitu komponen pertama anak harus bisa mempersiapkan buku-buku untuk sekolah pada malam harinya. Komponen kedua anak harus bisa bangun pagi untuk sekolah. Komponen ketiga anak tidak boleh sampai terlambat datang ke sekolah. Komponen yang keempat atau yang terakhir, anak harus rajin datang ke sekolah. Ketika anak sudah bisa untuk mempersiapkan buku-buku untuk sekolah, maka orang tua akan memberikan reinforcer. Berikutnya akan diteruskan dengan komponen kedua, dan memberikan reinforcer jika anak berhasil melakukan komponen kedua. Begitu seterusnya hingga akhirnya perilaku yang ingin dibentuk oleh orang tua, yaitu agar anak memiliki keinginan untuk ke sekolah akan muncul. Lama-kelamaan motivasi anak untuk pergi ke sekolah, yang awalnya adalah motivasi ekstrinsik akan berubah menjadi motif intrinsik. Jadi orang tua harus dapat meyakinkan anak banwa anak dapat melakukannya karena adanya usaha dan keinginan dari anak sendiri.

Nilai-nilai, hadiah-hadiah, dan rewards nyata lainnya digunakan karena rewards dan dorongan adalah bersifat eksternal untuk murid-murid, itu semua dikarakteristikkan sebagai motivasi eksternal. Untuk mengguanakan metode-metode ini, orang tua seharusnya selalu mencoba membuat murid-murid menterjemahkan alat eksternal yang sifatnya sementara ini menjadi motif intrinsik. Dengan cara membuat anak yakin bahwa anak berhasil pada beberapa level dan mampu melakukannya untuk mendorong usaha-usaha mereka (Elliott, Kratochwill, Littlefield, & Travers, 1999).

Elliott, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J., & Travers, J. F. (1999). Educational psychology: effective teaching, effective learning (2nd ed.). Singapore: McGraw-Hill.

Suryabrata, S. (2006). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jumat, 11 Desember 2009

Pandangan Sosial


Berdasarkan pandangan sosial, murid-murid di sekolah dengan perhatian dan dukungan hubungan interpersonal memiliki perilaku dan nilai-nilai akademik yang positif dan lebih terpuaskan dengan sekolah. Salah satu faktor yang paling penting dalam motivasi dan pencapaian murid-murid adalah persepsi mereka terhadap apakah mereka memiliki hubungan yang positif dengan gurunya (Santrock, 2008).

Seorang anak dapat termotivasi untuk pergi ke sekolah jika di sekolah ada sesuatu yang dapat membuatnya merasa nyaman, yaitu hubungan yang baik dengan guru. Oleh karenanya, guru harus dapat membuat anak nyaman dan senang pergi ke sekolah.

Kegagalan berulang, penolakan oleh guru, dan teman-teman sebaya, tidak adanya dorongan, semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung mengurangi minat untuk belajar dan umumnya merendahkan motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan lain (Sukadji, 2000).

Seorang anak dapat menjadi malas dan tidak menyukai sekolah, jika anak teringat bahwa di sekolah terdapat guru yang tidak disukainya, misalnya yang galak; ataupun teman-teman yang tidak bersahabat. Oleh karena itu, lingkungan sekolah harus dibuat menjadi senyaman dan semenyenangkan mungkin untuk anak.

Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Sukadji, S. (2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok, Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Pandangan Behavioral


Berdasarkan pandangan behavioral, yang menekankan pada hadiah dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi anak. Pendorong adalah stimuli atau kejadian-kejadian positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku anak-anak. Penganjur dari penggunaan dorongan menekankan bahwa mereka menambahkan minat atau ketertarikan pada kelas dan perhatian langsung menuju perilaku yang pantas dan menghindari perilaku yang tidak pantas (Santrock, 2008).

Seorang anak dapat termotivasi untuk pergi ke sekolah jika anak memiliki dorongan eksternal yang dianggap menyenangkan oleh anak, misalnya guru dapat memberikan stiker bintang jika anak selalu hadir di sekolah dan nantinya anak yang mengumpulkan banyak stiker bintang, anak akan diberikan rewards; sehingga anak akan tertarik untuk datang ke sekolah. Ruang kelas juga dapat dibuat semenarik mungkin, sehingga anak tertarik untuk datang ke sekolah. Orang tua juga dapat memotivasi anak dengan mengatakan bahwa jika anak dapat masuk sekolah terus, maka pada saat liburan anak boleh menentukan tujuan berlibur.

Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.